BAHAGIANYA AKU MENJADI IBU RUMAH TANGGA

Bunda, mulai bulan Oktober 2012 ini, Rumah Bunda meluncurkan rubrik baru, yaitu Mom’s Story. Berisi kisah-kisah penuh makna, inspiratif, motivasi, berbagi pengalaman hidup khususnya untuk para ibu. Kirimkan kisah Anda kepada redaksi Rumah Bunda untuk dipublish di website RumahBunda.Com

“Alhamdulillah, lega sekali rasanya sekarang saya bisa menjadi ibu rumah tangga.”  (Ibu Fany – Tangerang)

Dulu, sebelum menikah aku selalu ingin bekerja kantoran alias menjadi wanita karir.  Bagiku, perempuan yang bisa mencari uang sendiri itu keren. Dan kebetulan suatu hari salah seorang temanku mengajakku mengikuti seleksi karyawan di sebuah perusahaan di bilangan Karawaci. Aku pun mengikutinya, dan akhirnya lolos. Justru temanku yang mengajak tadi tidak lolos. Waktu itu, senang sekali rasanya.

Kemudian aku pun menikah. Dan Alhamdulillah, suamiku sendiri sudah mapan saat kami menikah. Pekerjaan bagus, rumah ada, mobil ada, wah, pokoknya aku beruntung sekali. Tapi, meski pun suamiku sudah mapan,  tetap saja aku ingin bekerja. Kami sudah membahas dan sepakat bahwa urusan nafkah adalah kewajiban suami.  Akan tetapi, aku memunculkan berbagai alasan untuk tetap dapat bekerja di luar rumah. Entah untuk menambah income, aktualisasi diri, biar tidak mubazir karena capek-capek kuliah, ingin berperan ganda, emansipasi, bla…bla…bla…

Pokoknya aku mau kerja. Titik.

Dan kebetulan, suamiku ini orang Jawa, identiknya simpel dan tidak banyak menuntut lah. Suamiku oke-oke saja. Yaa…meski kuakui, aku yang suka memaksakan. Gimana dong, aku kan biasa kerja, kasian amat kalau aku harus bengong di rumah. Kuniatkan saja kalau aku kerja untuk memberi yang terbaik buat keluarga. Garing sih ya….

Dandan cakep buat siapa yach ?

Pagi-pagi nih, yang namanya perempuan kalau dandan kayaknya nggak kelar-kelar, deh. Ada aja yang bikin nggak pede. Suamiku bahkan berkali-kali harus memencet klakson, menyuruhku untuk segera masuk ke mobil. Mungkin, kalau orang Jawa sampai mencet klakson, itu berarti aku yang nggak beres. Begitu masuk mobil, aku masih saja mengurusi make up, tak peduli dengan suamiku yang sibuk menyetir. Turun dari mobil aku sudah cakep, wangi, rapi, dan seksi. Dari office boy sampai manager semua melirik, bahkan mungkin berpikiran ngeres. Tapi, siapa sih wanita yang nggak mau dikagumi?

Waktu sudah punya anak, aku masih tetap saja begitu. Bahkan teman-temanku sering bilang bahwa meski aku sudah punya anak, aku tetap seperti saat masih gadis dulu. Wanita mana yang nggak senang mendengarnya? Pernah juga aku mendengar tausiyah di salah satu radio swasta, bahwa kecantikan seorang istri dan sikap terbaik seorang istri adalah hak suaminya. Hmm….so what !! Jadi kalau kek kantor apa tidak boleh dandan cantik?

Baru belakangan ini hatiku merenung…Ya Allah, aku sudah serahkan hak suamiku kepada laki-laki lain yang tidak berhak atasku…setiap hari…bertahun-tahun…!

Emansipasi memang enak banget. Tapi…

 

Aku benar-benar sangat berterimakasih pada para tokoh kewanitaan yang sudah rajin menyuarakan emansipasi untuk memperjuangkan kesamaan hak-hak wanita.

Di kantorku, gaji pria dan wanita untuk posisi yang sama tidak dibedakan. Bonus juga sama, tunjangan juga sama. Geram saja kalau berani membeda-bedakan kita karena gender!

Tapi, kalau kewajiban sama nggak ya…? Memang sih, pada jabatan yang setara dengan jabatanku itu, temen-temen priaku kasihan juga kerjanya. Ada yang harus ngejar target ini lah, harus nge-deal kontrak itu lah, harus ke bea cukai lah, pakai disemprot boss lah…

Tapi, masa’ perempuan juga harus begitu?

Pernah suatu hari komputer di mejaku itu monitornya mati bolak balik. Aku tebak, mungkin kabelnya yang longgar. Tapi, masa’ aku harus ngolongin (masuk kolong-red) meja? Akhirnya, aku pun tinggal angkat telpon, pakai sedikit rayuan kecil, langsung datang deh bagian IT ke mejaku. Monitor beres, plus tambahan beberapa shorcut program yang aku dambakan. Gampangkan?

“Professional” itu yang bagaimana? 

Aku suka geli sendiri ya…Kadang ada saja yang kelupaan. Lupa ninggalin uang buat beli aqua, lupa bawa pembalut, lupa bawa lotion, dsb.

Jadi nampaknya jadwal rutin kita para wanita karir itu sebenarnya begini :

  • Begitu sampai kantor langsung telpon rumah untuk kasih “briefing” pembantu/maid dari A-Z (bahkan manajerku pun jarang memberi briefing).
  • Habis telpon rumah, langsung sarapan, karena Jakarta macet jadi kami nggak pernah sempat sarapan di rumah.
  • Habis sarapan terus ngerumpi, ini wajib lho…berbagi informasi soal pendidikan anak, gosip Cinta Laura, sinetron terbaru, sampai masalah suami semalam minta diurut.
  • Habis ngerumpi biasanya si Nonik toko berjalan suka datang sambil bawa dagangannya yang macam-macam.
  • Telpon rumah lagi, kuatir kalau pembantu lupa sama instruksi tadi pagi.
  • Ngerumpi lagi, telpon lagi, ngerumpi lagi…
  • Paling demen kalau ada yang ngajakin rujakan…It’s a women thing you know…
  • Kerjaan mah, sambilan saja, yang penting beres. Iya kan?

Dan kalau boleh jujur…

  • Pesawat telpon yang ada di meja kita tuh, lebih sering buat nelpon siapa coba? Urusan pribadi atau urusan kantor? Padahal, kalau pamer HP, waaah nggak ada yang mau kalah deh. Bosan Blackberry, ganti Android. Sibuk ber-BB atau ber-Whatsapp ria. Nah, kalau gantian harus telpon anak di rumah, baru deh pakai telpon kantor.
  • Komputer lebih sering buat browsing mode baju, baca cerpen, baca berita gosip, facebook-an, YM-an sama teman…sedikit banget yang benar-benar buat urusan kantor.
  • Coba tengok email kita. Ada berapa email yang kita kirim setiap hari, berapa sih yang benar-benar buat pekerjaan? Paling email-an ngebahas ladies lunch, ngerasanin boss, gaji pembantu, dan hal-hal keperempuanan lainnya.
  • Ketika kita lagi ngerumpi misalnya, sadar nggak sih kalau suara tawa kita yang cekikikan itu mengganggu para bapak yang sedang serius konsentrasi bekerja demi memastikan nafkah yang mereka berikan untuk anak dan istri benar-benar halal dan toyyib?

Peran Ganda

Wanita bekerja dimitoskan sebagai wanita yang bisa menjalankan peran ganda yaitu mencari uang dan mendidik anak sekaligus. Pokoknya, superwoman deh!

Rinciannya? Mungkin begini, peran mencari uang dilakukan dengan cara “professional” seperti yang sudah dibahas diatas. Sedangkan peran kedua, yaitu peran mendidik anak ini yang ribetnya minta ampun. Padahal, kalau dipikir-pikir…tidak juga sebenarnya sih. Cukup angkat telpon, dan segera instruksikan ini dan itu kepada pembantu di rumah, beres deh. Simpel kan?

Managemen waktu yang efektif adalah kunci sukses peran ganda, itu kata pakar kewanitaan.

Ya, contoh saja, aku selalu memberitahu jam-jam dimana aku akan menelpon pembantuku di rumah, agar ia bisa menyiapkan anakku di dekat telpon saat aku menelpon nanti. Tujuannya supaya anakku tidak lari saat aku tanya dia sudah makan belum, sudah tidur belum, sudah ngapain saja hari ini, dsb. Pembantuku juga harus kucereweti agar jika aku pulang sore nanti, semua sudah beres. Rumah bersih, anak sudah mandi, dan makanan sudah siap.

Wew, kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya siapa yang berperan ganda, ya? Aku atau pembantuku?

Padahal, pembantu itu mayoritas gajinya di bawah UMR. Sudah begitu, pembantu kita sering banget kita kasih tugas merawat dan mengasuh anak. Mulai dari nyuapin, mandiin, nyebokin, sampai ngajarin nyanyi. Nggak cukup dengan itu, pembantu juga wajib membersihkan rumah, nyuci baju, nyetrika, bahkan membuatkan sambal kesukaan suami. Dan yang paling parah adalah pembantu itu sering sekali kewalahan menghadapi kita, para nyonya yang sering ketus, cerewet, dan nggak peduli dengan semua kesulitan yang ia hadapi.

Di kantor, aku sering sekali memamerkan anakku dengan segala kemajuan dan kelebihannya. Nggak mau kalah deh. Kalau anakku dipuji, aku selalu bangga, “siapa dulu mamanya?”. Giliran anakku malu-maluin, langsung deh main nyalahin pembantu.

Suamiku sendiri bukan orang yang rewel. Nasi tumis kacang panjang sama sambel terasi saja sudah nambah bolak balik kalau makan. Padahal itu semua yang masak pembantuku. Aku mana mau masak? Apalagi bikin sambal? Pegang terasi saja sudah jijik duluan. Nggak tahan baunya itu lhooo….

Tapi, ironisnya, dengan semua tugas “ibu” yang kubebankan pada pembantuku itu, aku menggaji pembantuku dengan minim. Kadang kepikiran juga, kerja nggak becus kok minta gaji tinggi. Terus, kalo nggak becus kok bisa ya, aku pasrahin ngurus anak? Wew, sebenarnya siapa yang nggak becus, nih?

Mamaku dan aku…

Kalau aku ditanya siapa yang paling aku banggain, aku pasti akan menjawab : mama.

Aku ingat sekali, dulu kalau aku mau pergi sekolah, mamaku selalu menyisiri rambutku. Kalau pulang sekolah, aku disambut dengan pelukan dan ciuman di depan pintu, kemudian ditanya tentang apa yang aku dapat disekolah. Mamaku orang yang sederhana, tapi bisa mendidik dan membesarkanku sehingga aku bisa menjadi sarjana seperti ini.  Oh, I love you, Ma…

Tapi, kenapa ya…aku justru bangga jadi wanita karir? Aku yang sarjana ini justru menyerahkan anakku pada pendidikan pembantu yang tentu saja riwayat pendidikannya di bawah aku.

Fitnahnya wanita di kantor

Namanya kantor ya begitulah. Pria dan wanita yang bukan mahram bergaul saja sembarangan tanpa adanya batasan. Lupa kalau yang dihadapi itu suami atau istri orang, atau bahkan sengaja menghilangkan jarak karena setiap hari ketemu. Terkadang, kalau sudah sibuk dengan pekerjaan yang sedang dibahas, kita lupa dengan “perabotan” kita. Entah yang laki-laki suka GR, atau bahkan yang perempuan lah yang suka genit menggoda. Mirisnya, yang berjilbab pun biasa dengan hal seperti ini.

Golden Age (masa-masa emas) yang tidak akan pernah kembali…

Pasti ada perasaan bersalah yang muncul karena aku tidak bisa setiap waktu dekat dengan anak. Tapi, aku selalu mencoba menutupinya dengan berbagai alasan sebagai pembenaran. Banyak yang bilang, yang terpenting itu kualitas, bukan kuantitas. Jadi, walaupun waktu kita sedikit untuk anak, yang penting kualitasnya.

Kemudian, saat kita menyimpan ASI di kulkas kantor,  terpikir juga, astaghfirullah, apa tidak risih ya, menjejer minuman untuk anak kita yang diperah dari payudara kita bersama dengan minuman orang lain khususnya laki-laki lain? Padahal, sekali lagi, jangan pernah remehkan otak kaum pria. Hal yang sepele pun bisa memunculkan pikiran “kotor” dalam benak mereka.

Ketika anak-anak kita mulai bisa bicara, mulai berjalan, dan mulai bertambah kepintarannya, apakah kita bisa bangga sepenuhnya dan yakin bahwa itu adalah didikan kita? Padahal selama ini anak kita diurus, diasuh, dan dididik oleh pembantu kita?

Ketika kita ambil rapot anak kita di sekolah, apa kita yakin merasa lebih baik dan lebih terhormat daripada ibu-ibu  yang tidak bekerja di kantor seperti kita? Ibu-ibu itu mencurahkan kasih sayangnya dengan belaian tangannya sendiri, dengan nasihatnya sendiri, sementara aku menyapa anakku hanya dengan telpon kantor, pembantuku lebih sering memberinya nasihat daripada aku yang cuma marah-marah saja kalau dilaporin pembantu.

Galau…                                         

Ada saat hati ini mulai tidak bisa dibohongi lagi.

“Mama kerja cari uang dulu buat kita jalan-jalan ya, Sayang, buat beli susu, buat beli bajunya Amy.”

Tapi, apa benar uang gajiku itu untuk beli baju, beli susu, dan buat jalan-jalan anakku? Tagihan kartu kredit di laciku jadi jawabannya : yang beli HP baru, beli baju online, beli tablet buat FB-an. Itu aja sering ditombokin suami.

Tausyiah itupun terngiang lagi. Kecantikan dan sikap terbaik istri adalah hak suami. Sudah 5 tahun lebih aku bekerja. Enjoy sih, suasana kerja penuh canda dan akrab, banyak yang kagum kecantikanku. Walaupun sakit hati juga sih, kalau ada yang menikam dari belakang bilang aku ganjen, gatel, atau genit.

Suamiku dan anak-anakku melepaskan hak mereka atas aku, diikhlaskannya aku pergi keluar rumah, sementara aku membalas keikhlasan mereka dengan kelakuan yang seandainya mereka lihat, pasti mereka akan kecewa. Ya Allah, Ya Rabbi…setiap hari selama bertahun-tahun aku sudah memberikan hak suamiku, hak anak-anakku kepada lelaki-lelaki lain yang tiada hak atas aku.

Hati ini teriris setiap kali si kecilku Amy bilang, “Mama jangan kelja (kerja-red),” saat  aku pamit berangkat kerja. Uh…

Surga di bawah kaki ibu…

Tapi, masihkah ada surga di bawah kaki ibu seperti aku…?

Ibu yang tidak menyusui anaknya 2 tahun penuh.

Ibu yang asyik ngerumpi di kantor sementara anaknya main sama pembantu.

Ibu yang asyik chatting email sementara anaknya tidur siang didekap pembantu.

Ibu yang cuma bisa cerewet lewat telpon kantor menyuruh anakku mandi lah, makan lah, tidur siang lah.

Ibu yang sibuk buka internet kantor cari-cari baju terbaru biar tetap modis dilihat (suami) orang.

Ibu yang asyik makan siang bareng di café sementara anaknya disuapi pembantu.

Enough !! I am coming home, Sweety..

Keputusan berhenti bekerja juga bukan urusan yang mudah. Tapi, hatiku sudah mantap. Aku ingin berhenti bekerja demi anak dan suamiku. Suamiku pun bilang bahwa sebenarnya dia sudah lama “mbatin” ingin aku berhenti kerja. Uuuh…coba dari dulu langsung bilang, Mas…

Ridha Allah

Tiada yang lebih nyaman buat seorang hamba selain mengikuti Sunnatullah. Laki-laki dan perempuan punya fitrahnya sendiri, ikuti aja maka Allah akan melimpahkan ridhaNYA. Alhamdulillah, keputusan berhenti bekerja adalah yang terbaik. Kini aku bebas menikmati saat-saat indah bersama bidadari kecilku, Amy. Kupastikan Amy akan  mendapatkan cinta dan kasih sayangku selama aku masih hidup.

Dengan ridha Allah, aku juga tetap bisa punya penghasilan sendiri, berdua kakak perempuanku aku mengembangkan bisnis cupcake online.  Suamiku membelikan aku Honda Jazz second, asyik juga bisa untuk anterin pesanan cupcake dan untuk mengantar-jemput sekolah buah hatiku.  Subhanallah, sungguh Allah tidak mengingkari janjiNya. Allah cukupkan rizki orang yang bertawakal kepada Nya.

Dan yang lebih penting lagi, aku bisa membebaskan diri ini dari fitnah, aku bisa menjaga hak suamiku dan aku penuhi kewajibanku kepada anak-anak yang diamanahkan Allah kepadaku.

Ohya, doain aku ya biar cepat berhijab. Aku ingin berhijab lahir dan batin lillahi ta’ala.

 

Maha Suci Engkau Ya Allah.

Tangerang, 9 April 2012

 

— Seperti dikisahkan oleh Ibu Fany F kepada Rumah Bunda —

About bunda 426 Articles
Hai! Panggil saya Icha atau Bunda Fafa. Seorang perempuan biasa yang bangga menjadi istri dan ibu rumah tangga, dan ingin terus belajar untuk menjadi luar biasa dengan karya dan dedikasi. Saat ini saya berdomisili di Yogyakarta, bersama dengan suami saya tercinta, Mr. E, dan anak-anak kami, Fafa (2010) dan Faza (2014). Enjoy!

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.