KULIAH LAGI? WHY NOT?

Pada suatu waktu, sebuah pesan masuk ke ponsel saya, mengabarkan bahwa ijazah saya yang tertahan sekian lama di kampus sudah bisa diambil. Akhirnya. Alhamdulillah, penantian sekian tahun berbuah manis. Setelah mengurus sedikit ini dan itu, ijazah sarjana saya pun sampai di tangan.

Rasanya bahagia sekali. Saya sudah lama pasrah. Birokrasi antarnegara yang cukup rumit membuat saya perlahan menutup semua akses harapan. Terserah bagaimana Allah saja. Saya hanya bisa menjalankan yang saya bisa lakukan.

Setelah ijazah ada di tangan, bara kecil yang selama sekian tahun itu meredup, berkobar kembali. Takut-takut saya menyampaikan keinginan saya kepada suami. Bukan takut suami dalam artian suami bakalan marah. Bukan. Melainkan takut jika harapan itu tidak bisa terwujudkan lagi, seperti yang selama ini terjadi.

Saya ingin sekolah lagi.

Dan di luar dugaan, suami mengizinkan. Really? Oh…maa syaa Allah.

“Anak-anak sudah mulai besar, Faza (bungsu kami) juga sudah sekolah. Adik harus bisa memanfaatkan waktu luang untuk lebih banyak belajar,” kata beliau. Saya nyengir lebar waktu beliau menekankan frasa “lebih banyak belajar”.

Sebelum-sebelum ini, anak-anak memang selalu menjadi pertimbangan beliau untuk memberikan saya izin. Entah itu studi atau bekerja, beliau selalu ingin saya fokus dengan anak-anak dulu. Pertimbangannya juga karena saat itu anak-anak masih sangat bergantung dengan saya, kami juga tidak menggunakan jasa nanny (pengasuh), sementara merepotkan orangtua untuk dititipi anak adalah hal nomor keseribu sekian dalam kamus kami.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan saya jatuh kepada Magister Studi Islam di Universitas Islam Indonesia (UII). Sekarang berubah menjadi Magister Ilmu Agama Islam.

Sekitar 2 bulanan saya menyiapkan semua berkas, termasuk mentranslate ijazah dan meminta rekomendasi dari dosen S1 terdahulu. Dan satu-satunya dosen saya yang ada di Indonesia, Jogja khususnya, hanya Ustadz Aris Munandar saja. Mengampu mata kuliah Syntax (nahwu) saat saya semester 1, tahun 2008. Maa syaa Allah, saya berhutang besar banget sama beliau. Mau direpotin sama emak-emak rempong macam saya ini. Baarakallaahu fiihi. Semoga saya tidak membuat beliau menyesal sudah memberikan rekomendasi.

Syarat lainnya juga ada sertifikat TOEFL, IELTS, atau CEPT. Ini ujian pertama saya, setelah sekian tahun tidak belajar. Akhirnya, beli buku lagi, belajar lagi. Saya sempat mau ambil course untuk Bahasa Inggris ini. Tidak pede dengan kemampuan diri, sih. Tapi, setelah tanya sana-sini, seorang teman merekomendasikan CILACS UII. Dan saya pun segera menghubungi kontak CILACS.

Setelah konsultasi dan bertanya banyak, ternyata saya direkomendasikan untuk ambil ujian CEPT saja. Karena saya hanya mau mendaftar di UII, CEPT sudah cukup, tidak harus TOEFL. Dari segi biaya juga lebih murah. Kalau ternyata sudah cukup, tidak usah ikut course-nya. Kecuali kalau belum cukup, baru nanti akan direkomendasikan. OKE. Emak-emak sangat suka yang murah-murah.

Setelah mengatur jadwal, akhirnya saya pun mengikuti ujiannya. Mayoritas peserta ujian pada hari itu adalah mahasiswa S1 UII yang mau lulus. Berasa tuwiiiirrr…Pasrah lah emak. Apapun hasilnya, yang penting saya sudah berusaha.

Pulang ujian, saya cemas. Muka pucat. Benar-benar sangat tidak ingin diganggu dan ditanya-tanya. Ada perasaan gagal. Karena beberapa soal di reading, saya merasa tidak bisa menjawab. Mungkin, karena saya terlalu fokus dengan ujian listening dan structure. Hikmahnya, ojo nggampangke.

Tapi, ternyata, saya benar-benar terkejut keesokan harinya.

Agak tidak percaya dengan hasilnya. Hasil tes menunjukkan bahwa saya berada di kategori teratas, excellent user.Maka nikmat Tuhan kamu yang mana kah yang kamu dustakan? Saya sampai menangis, campuran rasa syukur dan rasa tidak percaya. Saya peringkat kedua untuk sesi siang itu. Selisih 6 angka saja dari yang paling tinggi. Maa syaa Allah. Skor CEPT ini menjadi mood booster saya selanjutnya. Saya bisa, saya mampu. Saya hanya harus berusaha lebih giat lagi.

Dan ujian selanjutnya adalah ujian masuk.

Bertemu dengan teman-teman lain, yang dari bicaranya saja sudah menunjukkan kalau mereka cerdas-cerdas, wah, maa syaa Allah. Saya jadi merasa banyak menyesal dengan masa muda saya yang belum lama lewat. Sudah kuhabiskan untuk apa?

Hup. Hup. Hup. Harus percaya diri. Harus yakin. Walaupun “saingan” masuknya mayoritas muda-muda, fresh graduate, saya tidak boleh minder. Hasilnya, gimana Allah saja.

Dan, walhamdulillah, tanggal 12 Frebruari 2019 diumumkan bahwa saya lolos masuk dan diterima di Pascasarjana UII. Rasanya seperti mendapat kesempatan hidup kedua…

Ini tidak berlebihan. Karena memang benar, di masa yang telah lewat, betapa ada banyak hal terlewatkan, tertahan, dan saya hanya harus percaya pada keajaiban dari Allah.

Ketika teman-teman saya tahu bahwa saya kuliah lagi, sebagian besar mereka memang bertanya. Apa nggak bosan kuliah terus? Kenapa harus kuliah lagi, kan kamu begini, kamu begitu…Dan bla…bla…

Saya juga berpikir ulang. Sebenarnya, apa yang saya mau dalam hidup saya? Saya merenung. Surat keputusan diterima sudah di tangan. Saya merenung lagi. Sudah tepat kah pilihan saya? Bagaimana jika ternyata demi cita-cita saya ini, saya mengorbankan suami dan anak-anak?

Dilemma itu berlarut-larut, mengalirkan air mata yang tidak sedikit. Saya berdiskusi dengan suami berkali-kali. Saya butuh kepastian dari beliau, bahwa beliau benar-benar meridhai pilihan saya. Saya bertanya pada ibu saya, pada kakak ipar saya juga, meminta pendapat mereka. Sampai kemudian saya berada pada satu titik pemahaman : saya layak untuk kesempatan ini.

Jadi, kuliah lagi? Kenapa tidak?

Barangkali saya salah satu tipe perempuan yang merasa tidak cukup hanya belajar dari kajian ke kajian. Terlebih, saya memiliki “tuntutan” atau tanggungjawab tersendiri, yang orang lain belum tentu dituntut yang sama atau punya tanggungjawab yang sama. Tidak semua hal bisa saya ceritakan dan bagi pada orang lain, bukan?

This is my life, and I lived it.

Itu saja. Dan menjalani kuliahnya, itu cerita lain lagi.

About bunda 426 Articles
Hai! Panggil saya Icha atau Bunda Fafa. Seorang perempuan biasa yang bangga menjadi istri dan ibu rumah tangga, dan ingin terus belajar untuk menjadi luar biasa dengan karya dan dedikasi. Saat ini saya berdomisili di Yogyakarta, bersama dengan suami saya tercinta, Mr. E, dan anak-anak kami, Fafa (2010) dan Faza (2014). Enjoy!

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.